Sunday, June 3, 2007

UU Praktik Kedokteran Bukan Hukum Kesehatan

Dua-tiga tahun terakhir ini merupakan masa suram bagi bangsa Indonesia. Cobaan demi cobaan seakan tiada henti.

Penanganan korupsi yang ternyata baru sedikit menampakkan titik terang tentu saja juga menambah keprihatinan masyarakat yang minta keadilan, sementara sekian juta anak harus dibiayai karena tidak mampu membayar biaya pengobatan.

Upaya pengentasan masalah di atas membawa angin segar. Pemerintah mulai menunjukkan kepedulian dan keberpihakan kepada yang lemah. Namun, niat baik pemerintah mengalihkan subsidi ”hanya” kepada yang pantas menerima telah menimbulkan masalah baru di lapangan karena pelaksanaannya belum seperti yang diharapkan.

Hal ini membuktikan bahwa setiap peraturan perundang-undangan yang ditetapkan tidak secara otomatis dapat dilaksanakan untuk menyelesaikan segala permasalahan.

Untuk itu, tulisan ini akan mengulas Undang-Undang Praktik Kedokteran (UUPK) yang telah ditetapkan dan mulai dilaksanakan pada 6 Oktober 2005.

UUPK sering kali dipahami sebagai (sama dengan) hukum kesehatan atau hukum kedokteran. Pandangan tersebut muncul apabila hukum dimaknai ”sebagai peraturan” untuk memenuhi kebutuhan praktis (dengan menghafal pasal-pasal).

Memang diakui bahwa peraturan perundang-undangan adalah bagian tersurat dari wujud hukum, tetapi filosofi yang tersirat di balik peraturan tersebut merupakan bagian penting dari pemaknaan hukum yang lebih luas dari sekadar peraturan perundang-undangan dan yang masih harus diselami dengan nurani kemanusiaan.

Van der Mijn menyatakan bahwa hukum kesehatan sebagai ”... a body of rules that relates directly to the case for health as well as to the application of general civil, criminal and administrative law” atau: ... meliputi ketentuan yang secara langsung mengatur masalah kesehatan, berkaitan dengan penerapan ketentuan hukum pidana, hukum perdata, dan hukum administratif yang berhubungan dengan masalah kesehatan.

Ruang lingkup

Analog dengan pendapat tersebut, maka hukum kesehatan memiliki ruang lingkup, pertama, peraturan perundang-undangan yang secara langsung dan tidak langsung mengatur masalah bidang kedokteran. Contoh UUPK.

Kedua, penerapan ketentuan hukum administrasi, hukum perdata, dan hukum pidana yang tepat untuk itu.

Ketiga, kebiasaan yang baik dan diikuti secara terus-menerus (dalam bidang kedokteran), perjanjian internasional, perkembangan ilmu pengetahuan, dan teknologi yang diterapkan dalam praktik bidang kedokteran merupakan sumber hukum dalam bidang kedokteran.

Keempat, putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap menjadi sumber hukum dalam bidang kedokteran.

Pokok masalah yang dihadapi masyarakat dalam hubungannya dengan tenaga kesehatan adalah penyelenggaraan praktik kedokteran yang tidak memuaskan sehingga UUPK disusun dengan penekanan pada pengaturan praktik kedokteran dan bukan untuk penyelesaian sengketa.

Tujuan dari pengaturan praktik adalah memberikan perlindungan kepada masyarakat, kemudian mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan dan memberikan kepastian hukum.

Apabila sengketa diibaratkan sebagai akibat suatu perbuatan (yang terjadi di hilir), ”pengaturan” merupakan upaya preventif untuk menghindarkan sengketa.

UUPK memang bukan peraturan pertama yang dibuat untuk mengatur pelaksanaan tugas profesional kesehatan, tetapi diharapkan dapat mengeliminasi permasalahan kesehatan yang akhir-akhir ini merebak di masyarakat.

Pemberitaan di media massa cetak maupun elektronik, yang seakan-akan menuding petugas kesehatan telah melalaikan kewajibannya, menumbuhkan keprihatinan dan ketidakpercayaan masyarakat kepada komunitas yang menyediakan pelayanan kesehatan.

Ironisnya, pers yang diharapkan menjadi media pembelajaran bagi masyarakat tidak selalu mewartakan kebenaran, misalnya mem-blow-up kematian setelah diimunisasi. Ini justru dapat menyesatkan masyarakat yang membutuhkan pertolongan untuk mengupayakan kesehatan secara baik dan benar demi kehidupan di masa depan yang lebih produktif.

Dengan menunjukkan bahwa UUPK ”hanya” salah satu aspek hukum dalam penyelenggaraan praktik kedokteran, diharapkan dapat menghilangkan anggapan bahwasanya UUPK adalah hukum kesehatan.

Profesional medik perlu memahami ”ruh” yang terkandung dalam UUPK supaya perilaku dan pelayanannya tidak menyimpang dari etika dan norma yang telah disepakati bersama sehingga dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada profesi yang diembannya.

Hargianti Dini Iswandari Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro
source :www.kompas.com

No comments: