Sunday, June 3, 2007

Euthanasia yang (Semakin) Kontroversial

CHRISDIONO M. ACHADIAT
Dokter Spesialis Kandungan RS Baptis, Kediri, Jawa Timur

Euthanasia kembali mencuat menjadi berita hangat di berbagai media cetak dan elektronika. Hal itu dipicu oleh seorang dokter yang diizinkan oleh pengadilan Australia untuk melakukan euthanasia, selain Dokter Kevorkian yang melakukan tindakan-tindakan untuk "menolong" pasien-pasien yang menderita karena penyakitnya dengan mesin kematiannya yang disebut Thanatron. Pada awal April 1998, di Glendale Adventist Medical Center (California) diduga puluhan pasien telah "ditolong" untuk menjemput ajalnya oleh beberapa tenaga medis di RS tersebut. Karenanya, para tenaga medis tersebut telah menjalani pengusutan/penyidikan oleh pihak yang berwajib.

Dalam pembicaraan mengenai euthanasia (eu = baik, thanatos = mati, mayat), sebenarnya tidak lepas dari apa yang disebut hak untuk menentukan nasib sendiri (the right self of determination) pada diri pasien. Hak ini merupakan salah satu unsur utama dari hak asasi manusia dan karena itulah selalu menarik untuk dibicarakan. Kemajuan-kemajuan cara berpikir masyarakat telah menimbulkan kesadaran-kesadaran baru mengenai hak-hak tersebut. Demikian pula dengan berbagai perkembangan ilmu dan teknologi (khususnya dalam bidang kedokteran), telah mengakibatkan perubahan yang sangat dramatis dan berarti atas pemahaman mengenai euthanasia. Namun, uniknya, kemajuan dan perkembangan yang sangat pesat tadi rupanya tidak pernah diikuti oleh perkembangan dalam bidang hukum dan etika. Seorang pakar hukum kedokteran (Prof. Separovic) bahkan menyatakan bahwa "Contemporary developments have posed a whole series of new problems. One could even say: If medicine is in trouble because of too much change, law is in trouble because of too little change".

Bagi seorang dokter, sebenarnya masalah euthanasia merupakan suatu dilema yang menempatkannya pada posisi yang serba sulit. Di satu pihak, ilmu dan teknologi kedokteran telah sedemikian maju sehingga mampu mempertahankan hidup seseorang (walaupun yang istilahnya hidup secara vegetatif); sedangkan di pihak lain pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap hak-hak individu juga sudah sangat berubah. Dengan demikian, konsep kematian dalam dunia kedokteran masa kini dihadapkan pada kontradiksi antara etika, moral, dan hukum di satu pihak, dengan kemampuan serta teknologi kedokteran yang sedemikian maju (sehingga mampu mempertahankan hiduup vegetatif tadi) di pihak lain.

Jadi, pertanyaan-pertanyaan seputar euthanasia itu sebenarnya adalah cerminan dari kontradiksi tersebut. Sampai di mana sebenarnya hak untuk menentukan nasib sendiri itu? Apakah hak itu sedemikian mutlaknya sampai-sampai seseorang berhak untuk menentukan kematiannya sendiri (secara terhormat sekalipun)? Bagaimana "posisi" etika, moral, dan hukum bagi dokter yang harus berhadapan dengan realita euthanasia tersebut di tengah masyarakat?

Dalam buku Vitaceasarum, Suetonius menulis bahwa euthanasia adalah mati cepat tanpa derita. Dalam perkembangan selanjutnya, euthanasia diartikan sebagai pengakhiran kehidupan karena belas kasihan (mercy killing) dan membiarkan seseorang untuk mati (mercy death). Ada pula yang mengartikannya sebagai a good or happy death. Sedangkan Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki) merumuskan tiga pengertian berkaitan dengan euthanasia, yaitu: (1) Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman, tanpa penderitaan, untuk beriman dengan nama Allah di bibir; (2) Ketika hidup berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberikan obat penenang; dan (3) Mengakhiri derita dan hidup seseorang yang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya. Pada penjelasan pasal 10 Kodeki, ditegaskan bahwa seorang dokter tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seseorang yang menderita sakit, atau jelasnya melakukan euthanasia.

Dalam Kongres Hukum Kedokteran Sedunia di Gent (Belgia) pada 1979, dirumuskan beberapa kategori yang berkaitan dengan proses kematian pasien yang ditangani dokter, yakni: (a) No assistence in the process of death without intention to shorten life, contohnya kematian alamiah; (b) Assistance in the process of death without intention to shorten life, di mana terdapat unsur kelalaian di pihak dokter; (c) No assistance in the process of death with intention to shorten life, di mana euthanasia pasif termasuk kategori ini; dan (d) Assistance in the process of death with intention lo shorten life, yang pada hakikatnya adalah euthanasia aktif. Hingga saat ini, rumusan-rumusan tersebut belum mengalami perubahan yang berarti dan tetap menjadi acuan serta rujukan para dokter dalam kasus-kasus euthanasia.

Euthanasia pasif adalah secara sengaja tidak (lagi) memberikan perawatan atau bantuan medik yang dapat memperpanjang hidup pasien, sedangkan euthanasia aktif adalah secara sengaja melakukan tindakan/langkah yang memang bertujuan untuk mengakhiri atau mempersingkat hidup pasien. Jadi, perbedaannya terletak pada maksud atau tujuan (intention) serta tindakan yang diambil berkaitan dengan kematian pasien tersebut.

Lamerton dan Thiroux membuat 4 kategori rumusan lain tentang kematian berkaitan dengan euthanasia ini, yakni: membiarkan seseorang untuk mati, kematian belas kasihan, pembunuhan belas kasihan, dan kematian otak/batang otak. Bagaimana rumusan hukum tentang euthanasia?

Secara umum sebenarnya hukum tidak memberikan rumusan yang tegas mengenai kematian seseorang. Hanya, disebutkan bahwa kematian adalah hilangnya nyawa seseorang, namun tidak ada penjelasan lebih lanjut. Padahal, dengan kemajuan iptek kedokteran masa kini, detak jantung dan napas seseorang dapat terus dipertahankan karena fungsi otonomnya (dengan bantuan peralatan medis tertentu), walaupun sebenarnya otak atau batang otaknya telah berhenti berfungsi. Inilah yang di kalangan kedokteran dikenal sebagai keadaan vegetatif (vegetative state). Kasus Mary-Ann Quinland di AS, misalnya, pernah bertahan dalam keadaan seperti ini selama hampir 14 tahun, sebelum keluarganya meminta keputusan pengadilan agar alat-alat bantu mediknya dicabut saja dan setelah itu ia meninggal dunia dalam pengertian yang sebenar-benarnya.

Dulu, berakhirnya pernapasan dan detak jantung merupakan gejala yang menentukan matinya seseorang, yang biasanya disertai atau didahului dengan berhentinya fungsi otak. Namun, fungsi manusia untuk berpikir, berkomunikasi dengan lingkungan atau merasakan sesuatu, hanya dapat berlangsung bila otaknya masih berfungsi dengan sempurna. Dengan begitu, apabila otak telah berhenti berfungsi, sekalipun pernapasan dan detak jantungnya masih ada, kehidupannya secara intelektual dan psikis dapat dikatakan telah berakhir. Mati otak (atau batang otak) dalam proses kematian menjadi tanda utama bahwa seseorang telah meniggal dunia.

Bagaimana dengan hukum yang berlaku? Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) memang tidak pernah mencantumkan secara eksplisit istilah euthanasia dalam pasal-pasalnya, namun bila dikaji lebih mendalam ternyata beberapa pasal mencakup pengertian itu. Pasal 344 yang dikenal sebagai pasal euthanasia, misalnya, menyebutkan "Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun". Pasal-pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP juga dapat dikatakan bersangkut paut dengan masalah euthanasia.

Dengan demikian, secara formal hukum yang berlaku di negara kita memang tidak mengizinkan tindakan euthanasia oleh siapapun (termasuk para tenaga media dan dokter), sebagaimana tercermin dalam pasal-pasal KUHP tersebut. Tersirat dari pasal 334 di atas, yang jelas-jelas dilarang oleh KUHP adalah euthanasia aktif, dengan atau tanpa permintaan pasien/keluarganya. Menariknya, UU No. 23/1992 tentang kesehatan (yang dikenal sebagai UU Kesehatan) ternyata belum mengakomodasi soal euthanasia ini dalam pasal-pasalnya, sedangkan di lain pihak beberapa pasal KUHP tadi masih belum memberikan batasan yang tegas dalam hal euthanasia.

Dalam kajian yang dilakukan oleh Lori A. Roscoe dan kawan-kawan (New England Journal of Medicine edisi Desember 2000), ternyata bahwa dr. Jack Kevorkian yang dijuluki "Doctor Death" itu "menolong" pasien yang masih diragukan statusnya, sehingga menjadi tanda tanya apakah yang dilakukannya itu benar-benar "menolong" pasien atau malahan membunuhnya. Dari 69 pasien yang kematiannya "dibantu" oleh dr. Kevorkian antara 1990--1998, hanya 25% yang didiagnosis sebagai terminally-ill berdasarkan hasil otopsi. Sebanyak 72% dari pasien itu diduga kuat semakin menurun kondisi kesehatannya, justru karena dorongan keinginannya untuk mati. Hal yang juga patut diperhatikan ialah 71% dari pasien yang "dibantu" oleh dr. Kevorkian ternyata adalah wanita, suatu fakta yang bertentangan dengan data epidemiologis di berbagai kawasan dunia yang justru menunjukkan bahwa kaum wanita yang ingin mati karena penyakitnya jauh lebih sedikit dibanding kaum laki-laki. Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh "Doctor Death" itu sekarang menjadi perdebatan dari segi etika, sosial, dan hukum kedokteran, pantaskah dokter menentukan "status" dan kemudian langsung "menolong" pasien yang berkeinginan mati tersebut. Perlukah suatu badan atau dewan yang berwenang menentukan/memutuskan bahwa seseorang telah sampai pada tahap terminally-ill dan untuk itu layak "ditolong" dengan euthanasia?

Dalam dunia medis yang serba canggih, ternyata masih memerlukan tuntutan etika, moral, dan hukum dalam pelaksanaannya. Hal ini erat sekali kaitannya dengan penerapan hak asasi manusia (HAM) di lapangan kedokteran. Sejauh mana hak-hak yang dimiliki oleh pasien (dan juga dokter) dalam kaitan dengan euthanasia, agaknya sudah perlu dipikirkan sejak sekarang. Kenyataan menunjukkan bahwa seringkali para dokter dan tenaga medis lain harus barhadapan dengan kasus-kasus yang dikatakan sebagai euthanasia itu, dan di situlah tuntunan serta rambu-rambu etika, moral, dan hukum sangat dibutuhkan.

Bukan saatnya lagi kita masih mengatakan "belum waktunya" untuk merumuskan rambu-rambu tadi, karena di era moderen seperti sekarang ini para dokter akan lebih sering berhadapan dengan kasus-kasus euthanasia. If not now, then when? If not we, then who? Apa yang dilakukan oleh dr. Kevorkian di AS dapat menjadi kajian serta acuan yang sangat berharga dalam masalah euthanasia?
by:www.tempo.co.id

No comments: