Saturday, June 2, 2007

Menguji Palu Hakim untuk Satu Kasus Malpraktek

JAKARTA -- Akhir Januari setahun lalu, seorang wartawan lepas bernama Eko Warijadi meninggal dunia karena penyakit malaria. Tak ada yang salah dengan penanganan dokter yang dilakukan terhadapnya. Sayangnya, tim dokter dari Rumah Sakit Islam Cempaka Putih yang menanganinya mengakui penanganan medis yang dilakukan mereka tidak optimal lantaran si pasien terlambat dibawa ke RS tersebut.
Ihwal keterlambatan itu sendiri disebabkan, sebelumnya almarhum dibawa ke RS Haji Pondok Gede yang salah mendiagnosa penyakit si wartawan. Penyakit malaria yang dideritanya didiagnosa sebagai penyakit tifus yang otomatis ditangani dengan standar medis untuk penderita penyakit tifus.
Malang tak dapat dihindari akibat salah penanganan itu. Namun, sang istri yang juga seorang wartawati di situs berita detik.com merelakan kepergian si suami. Meski, diyakininya apa yang dialami oleh pasangan hidupnya itu adalah malpraktek dalam dunia kedokteran.
Tak demikian halnya dengan apa yang dilakukan oleh Indra Syafri Yacub yang kehilangan istri Ny Adya Vitry Harisusanti alias Ny Santi pada 19 Desember 2003 di RSCM. Syafri, yang warga Jalan Rajawali Selatan Jakarta Pusat mempersoalkan perlakuan medis yang didapatkan dari tim dokter terhadap istrinya dari sejumlah RS yang berbeda dalam kurun waktu dua bulan. Diantara diagnosa yang berbeda itu, menurut kuasa hukum Syafri dari LBH Jakarta, Taufik Basari adalah luka usus, kista, tumor kandungan dan miyoma.
Berihwal dari muntah darah yang dialami oleh Ny. Santi, berbagai dokter dari RS yang berbeda pun mendiagnosanya dengan hasil yang berbeda-beda. Tragis, ia menghembuskan nafas terakhir karena pemasangan alat suntik infus di bagian leher kanannya. Pemasangan infus itu sendiri dilakukan oleh tenaga medis yang tidak berhasil menemukan pembuluh darah nadi di tangan yang bersangkutan.
Kasus ini pun saat ini tengah berproses di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) melalui gugatan perdata yang diajukan Syafri kepada RSCM, RS Pelni Petamburan dan RS PMI Bogor serta delapan orang dokternya. Setelah digelar persidangan pertama pada 18 Maret 2004, PN Jakpus memberikan tenggat waktu 22 hari bagi kedua pihak untuk mediasi. Dalam tahap pertama mediasi ini sendiri, kedua pihak belum juga menemukan kata sepakat.
Gugatan ganti rugi senilai materiil Rp 47,3 juta dan imateriil Rp 3 miliar atas tuduhan malpraktek yang dilakukan pihak tergugat di persidangan perdana yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (18/3). Gugatan itu dirincikan; Rp 17,8 juta kepada RS PMI Bogor, Rp 25,5 juta terhadap RS Pelni, dan sisanya ditanggung RSCM.
Dasar gugatan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh para tergugat adalah tindakan-tindakan para tergugat melanggar Undang-Undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992. Para tergugat juga dinilai melanggar Kode Etik Dokter dan Kode Etik Rumah Sakit dengan tindakan yang dilakukan terhadap istri Syafri.

Bukan Pemaaf
Dua kasus di atas adalah cukilan dari sejumlah kasus serupa yang terjadi di berbagai wilayah di Tanah Air. Dan, sayangnya tingkat kesuksesan membawa masalah ini ke ‘meja hijau’ juga masih rendah sekali.
Padahal, seperti di AS yang sudah sangat maju dunia medisnya, kesalahan medis di dunia kedokteran berdasarkan laporan Institute of Medicine Amerika Serikat pada tahun 2001 saja telah membunuh hampir 100 ribu penduduk Amerika per tahun.
Sedang di Tanah Air, menurut sejarah praktek kedokteran di Indonesia, baru satu dokter yang izinnya dicabut karena terbukti melakukan malpraktek. Dan, jika tidak salah, belum ada tenaga medis yang dipidanakan oleh pengadilan lantaran kasus malpraktek. Ini membuktikan bagaimana sulitnya membawa kasus tersebut ke muka hukum.
Persoalan dasar hukum untuk mengugat memang masih menjadi polemik. Singkatnya, beberapa kasus malpraktek yang dibawa ke pengadilan justru tidak dimenangkan oleh penggugat. Bahkan, definisi malpraktek sendiri masih menjadi perdebatan. Kalangan medis menilai perbuatan malpraktek bukanlah tindakan kriminal biasa.
Hakim, jaksa dan aparat penyidik di bidang ini menurut mereka seharusnya adalah orang yang benar- benar mengerti soal istilah medis, penerapan dan konsekuensi dari penanganan medis terhadap pasien dan penyakitnya. Karenanya, wacana pengadilan khusus untuk hal ini pun sempat mengemuka dan ada dalam draft Rancangan Undang- undang Praktek Kedokteran yang hingga kini belum disahkan.
Salah satu jalan meretas proses hukum atas kasus ini, menurut Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) Marius Widjajarta bisa dengan berdasarkan UU Perlindungan Konsumen dan UU Kesehatan No. 23/1992.
by:www.sinarharapan.co.id

No comments: